sponsor

sponsor

Kabar Juang

Fokus Juang

Info Buruh

Siaran Resmi

Perspektif

Internasional

Sosbud

Inspirasi

» » Menghidupkan “Marsinah-Marsinah” Baru

Perjuangan buruh perempuan
Tersebutlah seorang perempuan bernama Marsinah, yang berasal dari desa Nglundo, Sukomoro. lahir pada tanggal 10 April 1969. Berasal dari kalangan buruh tani, Marsinah kemudian terpaksa mencari pekerjaan di kota akibat lahan pertanian semakin sempit dan kemiskinan masyrakat pedesaan.. Dia kemudian memperoleh pekerjaan sebagai buruh di sebuah pabrik arloji, PT Catur Putra Surya, di Porong, Sidoarjo. Sosoknya hingga kini selalu dikenang oleh para aktifis buruh karena kematiannya yang tragis disaat menjalankan protes di tempatnya bekerja. Setelah menghilang selama 3 hari, tubuhnya ditemukan tak bernyawa di hutan dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, pada tanggal 8 Mei 1993. Hingga hari ini kasusnya masih belum menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.
Ia dibunuh, tulang panggul dan lehernya hancur
Dimulai dengan unjuk rasa yang dilancarkan para buruh PT Catur Putra Surya pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993 tentang kenaikan upah. Mereka menuntut kenaikan upah dari Rp. 1.700,- menjadi Rp. 2.250,- dan tunjangan sebesar Rp. 550,- perhari. Marsinah aktif dalam rapat-rapat dan aksi-aksi tersebut meskipun ia bukan anggota serikat buruh karena kesibukannya di kerja-kerja sampingan lainnya demi mengumpulkan duit dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada tanggal 3 Mei aksi mereka dihalang-halangi oleh KORAMIL setempat, tapi semangat para buruh tidak surut. Pada tanggal 4 Mei mereka melancarkan aksi mogok total dengan 12 tuntutan mereka, termasuk tuntutan upah, tunjangan dan pembubaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Pada tanggal 5 Mei, Marsinah menjadi salah satu wakil buruh dalam perundingan dengan pihak perusahaan. Namun pada siang harinya, 13 orang buruh rekan Marsinah dibawa ke KODIM. Disana mereka diinterogasi dibawah tuduhan melakukan rapat gelap, penghasutan dan dipaksa untuk menandatangani penyataan mengundurkan diri dari perusahaan. Demi mengetahui hal yang dinilainya janggal ini, Marsinah mendatangi markas KODIM seorang diri untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya. Sepulangnya dari KODIM lah keberadaan Marsinah tidak diketahui selama 3 hari hingga akhirnya ditemukan tidak bernyawa pada tanggal 8 Mei 1993, pada saat itu usia Marsinah 24 tahun. Kematiannya menyedot perhatian masyarakat luas, bahkan setelah kematiannya di tahun yang sama pula, ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hiem.
Dibawah sorotan masyarakat, pada tanggal 30 September 1993, sebuah tim penyidik dibentuk oleh pemerintah Jawa Timur. Hasilnya, 10 orang tersangka, yang salah satunya adalah anggota TNI, ditangkap dan diadili hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung dan kemudian divonis tidak bersalah dan dibebaskan. Proses peradilan ini menyimpan banyak kejanggalan, misalnya saja penangkapan 8 petinggi PT Catur Putra Surya yang misterius dan pengalihan alibi menjadi pembunuhan dan pemerkosaan. Di proses peradilan disebutkan bahwa Marsinah mengalami perkosaan, namun yang tidak pernah diungkap ke pengadilan saat itu adalah bahwa tidak ditemukan bukti-bukti kerusakan pada tubuh marsinah yang mengarah kepada tindak pemerkosaan. Pada saat tubuhnya diotopsi ulang, hasil forensikl menyatakan bahwa tulang panggul dan leher Marsinah hancur dan bukan disebabkan oleh pukulan benda tumpul. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan dan menganggap ada rekayasa dalam kasus pembunuhan Marsinah dan proses peradilannya.
Kasus Marsinah sudah pernah berusaha diangkat kembali oleh berbagai kalangan, namun tidak juga menunjukkan titik terang. Hal ini menunjukkan betapa terpinggirnya posisi buruh dan rakyat kecil di dalam proses peradilan Indonesia. Sementara itu, rekan-rekan Marsinah di PT Catur Putra Surya melanjutkan perjuangan dan membentuk serikat buruh baru diluar SPSI.

Mereka takut pada Marsinah, mereka takut pada kaum buruh!
Peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana negara, pengusaha, dan tentara berkongkalikong untuk merampas kesejahteraan rakyat kecil dan juga bagaimana rentannya posisi perempuan dalam perjuangan pembebasan rakyat dari penindasan. Kasus Marsinah yang mengandung indikasi campur tangan militer dalam usaha penghancuran gerakan buruh di era Soeharto berusaha dikaburkan lewat alibi bahwa pembunuhan itu adalah kasus pemerkosaan, meski bukti hanya menunjukkan bahwa ia mengalami penganiayaan berat dan bukan diperkosa. Hal ini juga adalah tendensi patriarkis rejim ORBA yang masih bertahan hingga hari ini. Kematian Marsinah yang berlatar belakang politik pemberangusan gerakan buruh berusaha dikaburkan menjadi sebuah kasus pemerkosaan. Di dalam kacamata patriarkis, pemerkosaan adalah sebuah kasus kriminal biasa yang tidak bernilai politis seperti isu penghancuran gerakan buruh atau penghalangan perjuangan buruh, sehingga dengan menjadikan kasus Marsinah sebagai kasus pemerkosaan akan meredam efek politis dari kematiannya.
Rejim berhasil menghilangkan jasad dan nyawa Marsinah dari muka bumi, tapi mereka tidak akan pernah berhasil menghapuskan sosok dan semangat Marsinah dari para buruh dan kaum gerakan Indonesia. Marsinah yang kondisinya sama dengan buruh-buruh berupah rendah lainnya menjadi prasasti pengingat bahwa untuk mendapatkan kesejahteraan yang memang haknya, kaum buruh akan berhadapan langsung dengan rezim; pemilik modal, pemerintah dan militer. Di masyarakat luas pun sosok Marsinah dikenang sebagai sebuah satir negara demokrasi.

Bertahun setelah kematiannya, Marsinah menjadi sosok yang subversif bagi rejim. Beberapa karya seni yang mengangkat kisah Marsinah dihalang-halangi oleh pemerintah, seperti film Marsinah karya Slamet Rahardjo yang oleh Menakertrans Jacob Nuwa Wea sempat diminta untuk ditunda rilisnya dan pementasan drama monolog Marsinah menggugat oleh Ratna Sarumpaet dilarang oleh kepolisian Malang karena sebelumnya sudah sukses diadakan di tujuh kota lainnya. Pementasan drama sebenarnya tidak termasuk dalam hal yang membutuhkan ijin dari pihak kepolisian, cukup hanya memberikan surat pemberitahuan pelaksanaan. Namun bila pementasan yang bertajuk “Marsinah Menggugat” sampai dilarang oleh pihak keamanan, maka bisa disimpulkan ada hal terlarang dari pementasan tersebut. Apa hal terlarang tersebut? Marsinah, ya, Marsinah adalah kata subversif dalam kemapanan rejim selama ini.
Kondisi buruh hari ini dan kebutuhan akan “Marsinah-Marsinah Baru”
Sembilan belas tahun sudah berlalu sejak Marsinah dibunuh dan tanpa peradilan yang berpihak padanya, kondisi buruh masih juga belum membaik. Kepentingan untuk menarik para pemodal dan pelancaran sistem yang kapitalistik selalu meminggirkan tugas negara untuk menyejahterakan seluruh rakyat. Meskipun ada hukum yang dianggap mampu melindungi hak-hak buruh, namun dengan lemahnya posisi buruh dalam peradilan negara, maka hukum ini pun gagal menjalankan fungsinya. Lebih tepatnya, hukum di Indonesia memang tidak disusun untuk benar-benar berpihak kepada kaum buruh dan rakyat kecil. Sudah umum diketahui, kasus-kasus perburuhan yang sampai di meja peradilan hampir seluruhnya dimenangkan oleh pihak pengusaha.
Kapitalisme dalam bentuk neoliberalisme sekarang ini pun semakin membutuhkan efisiensi biaya produksi. Demi kepentingan ini, pemilik modal sengaja menggunakan semangat patriarki untuk dapat mempekerjakan lebih banyak buruh perempuan dengan harga “lebih murah” dan dengan maksud agar lebih “mudah diatur”. Semakin tahun jumlah buruh perempuan semakin meningkat pesat dengan tanggung jawab terhadap hak-hak perempuan yang tidak kunjung diperhatikan. Dalam sistem kontrak dan outsourcing misalnya, diketahui bahwa 60% lebih status kerja ini dikenakan kepada kaum perempuan. Sehingga kedepan, dalam kapitalisme yang semakin tua, tanggung jawab perjuangan buruh sejatinya semakin terletak di pundak kaum perempuan.
Dengan kondisi diatas, tidak berlebihan kiranya jika perjuangan buruh membutuhkan “Marsinah-Marsinah baru”. Seperti umumnya terjadi pada perempuan, kaum buruh perempuan juga adalah kaum yang mendapat penindasan patriarki dilingkungan masyarakat, keluarga, maupun negara. Oleh karena statusnya sebagai perempuan, menjadi sah bagi pemilik modal untuk membayar murah buruh perempuan, menjadi sah bagi masyarakat untuk menomor-duakan perempuan, menjadi sah bagi keluarga untuk membebankan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga hanya pada kaum perempuan. Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi perjuangan, oleh karena kehadiran “Marsinah baru” selalu dihambat, sehingga kalaupun kaum perempuan terlibat berorganisasi, selalu lah dituntut (oleh keluarga, masyarakat dan negara) untuk hanya menjadi anggota biasa saja yang berada di belakang kaum lelaki.
Mitos-mitos tentang perempuan harus lembut, molek, penghias, dll, selalu diperkuat oleh pemilik modal lewat media-medianya agar tidak lahir perempuan lantang yang berani layaknya Marsinah. Tentu saja ini persoalan disaat kaum buruh yang jumlahnya jutaan diisi oleh mayoritas perempuan. Apa jadinya jika kaum perempuan tidak terlibat aktif dalam perjuangan dan organisasi? Maka kekuatan kaum buruh berikut potensi kepemimpinan buruh akan berkurang lebih dari separuhnya. Sehingga organisasi buruh ikut bertanggung jawab dalam memberi “ruang keaktifan” bagi buruh perempuan.
Ditangan kaum buruhlah keputusan berada, apakah akan merebut kehidupan yang dipasung oleh rejim atau berdiam diri menjadi budak para pemilik modal. Untuk tuntutan ini, semangat Marsinah harus tetap dijaga diantara buruh, terkhusus buruh perempuan, agar bara api yang telah dinyalakan Marsinah dalam perjuangannya terus menyala dan dilanjutkan oleh Marsinah-Marsinah baru.
*) Dimuat dalam buletin “BERGERAK!” edisi 1 – Federasi PROGRESIP
*) Ditulis oleh Jovanka dan Kibar, pengembangan dari tulisan “Perempuan yang Menggentarkan Rejim; Marsinah, Pahlawan Kaum Buruh” oleh Jovanka.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply