sponsor

sponsor

Kabar Juang

Fokus Juang

Info Buruh

Siaran Resmi

Perspektif

Internasional

Sosbud

Inspirasi

» » Neoliberalisme Dan Kontrak/Outsourcing Yang Menghancurkan Kemanusiaan

Dampak neoliberalisme dan modusnya
Sudah setiap hari kita mendengar dan merasakan bagaimana nasib buruh yang dikenakan sistem kontrak dan outsourcing. Setiap hari pula saat ini sudah terjadi perlawanan diberbagai penjuru terhadap praktek kontrak/outsourcing. Sekarang kita mesti sedikit tahu, bahwa dibalik penerapannya yang melanggar hukum itu sendiri, terdapat bahaya yang sangat nyata bagi perkembangan buruh dan rakyat Indonesia dari sistem kerja ini. Namun sebelum melangkah kesana, marilah dulu kita ketahui alasan mengapa sistem kerja ini dipakai dan diterapkan oleh pemerintah Indonesia, bahkan di banyak negara di dunia.

Kontrak dan Outsourcing sebagai pemindahan resiko kepada buruh
Sistem kontrak dan outsourcing merupakan sebuah sistem yang lahir di Indonesia dari sebuah skema kebijakan internasional yang dinamakan Labor Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga kerja yang fleksibel/lentur. Skema LMF tersebut adalah salah satu jawaban dari para penguasa dunia (kapitalis-kapitalis raksasa) yang mengatur dan menjalankan sistem ekonomi-politik kapitalisme terhadap krisis ekonomi yang setiap periodenya muncul dalam kapitalisme itu sendiri, yaitu krisis yang tidak mengenal wilayah bangsa-negara, yang saling terhubung, sambung-menyambung diantara negara-negara penganut sistem kapitalisme. Dampak dan pelajaran dari krisis yang bertubi-tubi inilah yang kemudian memunculkan “Neoliberalisme” sebagai “alat baru” bagi para kapitalis untuk mempermudah dan memperluas penegakan kekuasaan modalnya di dunia.

Dibawah skenario LMF, pemodal ingin menghindari resiko-resiko kerugian akibat krisis (yang diciptakannya sendiri), lalu menimpakannya kepada pundak buruh. Seperti diketahui, bahwa dalam setiap krisis, perusahaan umumnya merugi karena produk-produknya tidak terserap oleh pasar. Tapi sebenarnya pemodal secara umum tidak benar-benar rugi, karena keuntungan-keuntungan sebelumnya telah dibelanjakan sebagai modal baru (investasi) maupun sebagai konsumsi mereka yang berlebihan. Karena tidak mau benar-benar rugi, pemodal ingin menghindari tanggung jawabnya kepada buruh. Dengan sistem kontrak dan outsourcing, tidak hanya disaat krisis secara umum, tapi kapan saja pemodal bisa mendepak buruh atas nama “rugi”. Ditambah lagi, sistem ini (khususnya outsourcing dan “borongan/harian”) menjadi alasan bagi pemodal untuk tidak memberikan upah yang sesuai dan setara dengan upah minimum serta tidak memberikan jaminan-jaminan sosial bagi buruh dalam bekerja. Sudah tidak pasti pekerjaannya, tidak ada pula jaminan bekerjanya.

Kecurangan sistem neoliberal terhadap ketenagakerjaan, atau lebih tepatnya keberpihakan pemerintah kepada pemodal, semakin terlihat disaat pemerintah bahkan memberi tunjangan-tunjangan kepada pemodal dalam bentuk insentif pajak, insentif BBM, listrik, dll. Sedangkan dalam kontrak dan oursourcing, buruh harus memikirkan sendiri kebutuhan hidupnya ketika bekerja maupun ketika mendadak di PHK.

Neoliberalisme
Diatas dikatakan bahwa LMF hanyalah salah satu kebijakan dari Neoliberalisme. Selain LMF, terdapat kebijakan-kebijakan lain yang berfungsi sama: penegakan kekuasaan modal. Secara umum, Neoliberalisme berdiri diatas 3 fondasi, yaitu Liberalisasi, Deregulasi, dan Privatisasi. Liberalisasi berarti membebaskan/memperlancar aliran modal (berikut sistem politik dan sistem budayanya) untuk keluar/masuk dari satu negara ke negara lain. Ini berdampak pada semakin cepat dan banyaknya modal-modal internasional yang masuk untuk mengakumulasi keuntungan (baik di sektor-sektor produktif maupun finansial) tanpa adanya tanggung jawab yang menyeluruh terhadap dampak-dampak kemanusiaan dari akumulasi modal itu. Ini dibuktikan dengan masuknya banyak perusahaan tambang dan perkebunan yang menghancurkan masyarakat desa dan lingkungan. Deregulasi berarti negara (khususnya negara dunia ketiga) tidak boleh ikut campur dalam persaingan ekonomi. Artinya tidak boleh ada pembelaan dan perlindungan negara terhadap ekonomi rakyat kecil. Deregulasi dicontohkan dengan terus-menerusnya subsidi (bantuan) negara terhadap rakyat dicabut (BBM, Listrik, dll). Sedangkan Privatisasi berarti Swastanisasi, yaitu negara tidak boleh ikut serta dalam persaingan ekonomi lewat perusahaan-perusahaan negara (BUMN), yang kemudian menyebabkan ratusan BUMN (termasuk yang menguasai hajat hidup orang banyak—vital) telah dilelang dan dimiliki oleh modal asing.

Secara keseluruhan, konsep Neoliberalisme yang dipaparkan diatas memang belum berjalan sempurna di Indonesia. Hal ini dikarenakan politik pemerintahan masih bertahap dan “tarik-ulur” dalam menghadapi berbagai gejolak yang muncul akibat penerapannya. Disana-sini pemerintahan yang silih-berganti sejak reformasi masih memberi “wajah-wajah perlindungan dan keberpihakan pada rakyat”. Walaupun demikian, secara prinsip, tidak ada satu pemerintahan pun berikut partai-partai politik nya yang ada di parlemen sekarang ini yang menolak laju penyempurnaan neoliberalisme.

Kembali ke awal. Dalam dunia ketenagakerjaan, “wajah perlindungan” pemerintah lebih terlihat buruk. Laju penerapan neoliberalisme lewat sistem kontrak dan outsourcing meningkat tajam dalam 5 tahun terakhir. Sejak diterapkan pada tahun 2003 (lewat UUK thn 2003), sudah lebih dari separuh (bahkan sudah 65% nya) buruh yang bekerja di Indonesia dikenai dengan sistem kontrak dan outsourcing. Yang membuatnya bertambah parah adalah penerapan sistem ini di lapangan sudah jauh melampaui UU yang mengaturnya sendiri. Apalagi, dalam setiap pelanggarannya, tidak pernah ada sanksi kepada perusahaan yang diatur oleh peraturan apapun. Hal tersebut sedikit memberi kesimpulan bahwa sejak dalam peraturannya sendiri, sistem kontrak dan outsourcing sudah dimaksudkan (atau memberi peluang) untuk pelanggaran besar-besaran dalam prakteknya oleh para pemodal. Mirip semacam konspirasi.

Bahaya kemanusiaan
Bahaya nyata sistem ini terhadap kemanusiaan dapat dibagi kedalam dua hal. Yang pertama adalah hubungan antara buruh dengan pemodal, dimana semakin menurunnya keberdayaan buruh maupun rakyat secara umum dihadapan pemodal. Buruh semakin ditakutkan akan PHK, sehingga sering kali buruh tunduk pada pelanggaran normatif dan tidak dapat menolak permintaan-permintaan pemodal yang diluar bidang pekerjaannya. Hal ini dipengaruhi oleh semakin ditutupnya ruang bersuara/beraspirasi buruh kontrak dan outsourcing dengan “larangan” terlibat dalam serikat buruh/pekerja. Demikian juga dengan rakyat pekerja secara umum yang sedang mencari pekerjaan. Sistem ini menumpulkan derajat dan martabat calon buruh untuk “mau tidak mau” mengikuti aturan dan tata-cara yang tidak jelas maupun melanggar, dan dalam ketidakpastian bekerja. Singkatnya, hubungan pemodal dan buruh dalam sistem ini adalah ibarat hubungan antara tuhan dan hamba nya.

Sedangkan yang kedua adalah hubungan antara buruh dengan buruh, dimana sistem ini memperlebar jarak antara buruh tetap dengan kontrak dan outsourcing, sehingga (seakan-akan) memperlebar perbedaan kepentingannya, dan juga mempersengit persaingan diantara buruh kontrak/outsourcing itu sendiri dalam memikat hati para pemodal. Dalam arti, sistem ini membuat buruh semakin individualis dan tidak mengenal persaudaraan antar sesama buruh yang sejatinya satu kepentingan.

Akhirnya, dengan menjadi hamba dari pemodal dan menjadi musuh diantara sesamanya, martabat buruh sebagai manusia pun lepas dan hancur perlahan-lahan.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply